Pages

Rabu, 09 Februari 2011

Guru Profesional Memanipulasi Data Beban Kerja Tatap Muka



  


Bergembiralah mereka seorang guru yang mendapat kesempatan untuk mengikuti seleksi sertifikasi portofolio, guna mendapatkan tambahan tunjangan profesi setara satu kali gaji pokok (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Dengan demikian diharapkan guru yang sudah dianggap profesional tersebut bisa lebih meningkatkan kinerjanya.

Berawal dari surat panggilan ikut seleksi sertifikasi, guru tersebut mulai menyusun materi fortofolio. Dengan batas minimal nilai fortofoilio, guru mulai mencoba mencari celah untuk melakukan berbagai cara supaya batas nilai minimal bisa terpenuhi. Cara-cara yang yang kurang terpuji terbesit dibenak para guru yang nilainya kurang memenuhi batas minimal. Ada yang membuat surat tugas Aspal (asli tapi palsu) dan ada yang memalsu sertifikat punya orang lain. Bahkan ada yang mengganti nama pada karya tulis atau buku modul yang bukan karyanya. Sementara kepala sekolah tak bisa menolak untuk mengesahkan surat-surat tersebut. Guru tak pernah ikut berbagai kegiatan di sekolah, tetapi dalam surat tugas Aspal tersebut selalu tercantum, dengan cara membuat surat tugas baru, seakan-akan guru tersebut aktif pada berbagai kegiatan di sekolah. Bagi yang belum sarjana S-1 atau D4, mereka mulai ikut kuliah lagi walau di perguruan tinggi yang belum terakreditasi baik. Sehingga muncul sarjana-sarjana pendidikan karbitan yang hanya sebatas sarjana hitam diatas putih. Karena sarjana-sarjana semacam ini tidak jauh berbeda ketika mereka belum sarjana.

Ramai-ramai mengikuti seminar dimana-mana, yang tentunya hanya ingin mendapatkan sertifikat semata. Ada yang hanya mendaftar tetapi tidak ikut seminar, bahkan ada sejumlah oknum yang mencoba menjual sertifikat dengan harga yang bervariasi antara Rp 50.000 sampai Rp 100.000 tergantung jumlah jam seminar dan tingkatan seminar tersebut (tingkat Lokal atau Nasional).
Bagi yang lulus portofolio tentunya sangat lega dan dianggap sudah profesional, sementara yang belum harus mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) di wilayah kerja masing-masing. Dalam pelaksanaan PLPG inilah muncul berbagai persoalan. Guru yang sudah berumur diatas 50 tahun tidak mungkin lagi bisa mengikuti pelatihan sepanjang hari dengan baik . Ada guru kena penyakit darah tinggi, rematik, diabetis, asam urat dan lain sebagainya, fenomena seperti ini tentunya program pemerintah tidak begitu berarti. Dimana guru-guru banyak di luar sekolah sehingga jam mengajar sering ditinggalkan.

Setelah menjalani PLPG yang menguras tenaga dan pikiran, selanjutnya mengikuti ujian praktek dan tertulis. Ujian inilah yang benar-benar terlihat mereka guru profesional atau bukan. Karena di beberapa wilayah tempat PLPG rata-rata 50% lebih peserta PLPG tidak lulus ujian. Ironis sekali seorang guru yang selalu manganjurkan siswanya untuk belajar giat agar lulus ujian, ternyata gurunya sendiri  tidak lulus ujian.

PLPG di wilayah Surakarta banyak yang tidak lulus dan akhirnya perserta melakukan demonstrasi menuntut pihak pengelola PLPG agar diadakan ujian ulang dan minta diluluskan. Padahal yang melakukan demonstrasi tersebut sudah melakukan ujian ulang sampai 3 kali. Bahkan sampai menghadap ketua PGRI Provinsi dan Badan Perwakilan Daerah (BPD) Jawa-Tengah di Semarang (Suara Merdeka).

Setalah dinyatakan lulus fortofolio atau PLPG, timbul masalah lagi di sekolah tempatnya mengajar yaitu guru tersebut harus mempunyai beban kerja sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyak 40 jam tatap muka dalam 1 minggu (UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Masalah ini timbul karena sebelumnya seorang guru hanya mempunyai beban kerja 12 – 18 jam tatap muka, terutama pada tingkat SLTP dan SLTA yang jumlah rombongan belajarnya sedikit tetapi gurunya banyak. Sehingga guru di beberapa sekolah melakukan manipulasi data pada SK Kepala Sekolah, yaitu SK Pembagian tugas mengajar dan jadual mata pelajaran. Menipulasi ini sekedar untuk dilaporkan ke tingkat institusi yang lebih atas. Setelah dilakukan manipulasi data tersebut, seorang guru tersebut tetap hanya melaksanakan beban kerja 12 – 18 jam tatap muka per-minggu, bahkan guru-guru tersebut  tidak menunjukan kinerja yang lebih baik.

Disinilah letak dimana guru melakukan tindakan yang kurang terpuji yaitu melakukan kebohongan-kebohongan. Tidak tanggung-tanggung jam mengajar guru lain diambil tanpa dilakukan musyawarah, sehingga terjadilah konflik internal di sekolah. Inilah potret guru Indonesia yang sudah dianggap profesional.
Selanjutnya kapan pemerintah (Dedpdiknas) akan melakukan investigasi ke sekolah-sekolah untuk memantau kinerja guru-guru yang sudah dianggap profesional tersebut ?.

0 komentar:

Posting Komentar